Ketika Feminisme Menggugat HAM

Judul buku : Pergulatan Feminisme dan HAM
Penulis : R. Valentina Sagala, SE., SH., MH. dan Ellin Rozana, S.Si.
Penerbit : Institut Perempuan
Tahun terbit : Cetakan ke-1, April 2007
Halaman : viii + 176 halaman
ISBN : 979-98392-1-3

Hak asasi manusia (HAM) adalah hak yang melekat pada setiap manusia di manapun, kapan pun manusia itu berada tanpa memandang siapa manusia itu. Kemunculan konsep HAM sebagai sebuah isu penting yang mendunia hadir bersamaan dengan perkembangan kesadaran umat manusia akan pentingnya mengakui, menghormati, dan mewujudkan manusia yang berdaulat dan utuh.

Perkembangan HAM di dunia dimulai dengan adanya Magna Carta di Inggris pada tahun 1215, yang menjelaskan adanya larangan bagi raja untuk memungut pajak tanpa persetujuan tuan tanah dan denda terhadap orang merdeka disesuaikan dengan kesalahannya.
Selanjutnya pada 10 Desember 1948, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengesahkan Universal Declration of Human Rights atau Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Deklarasi ini tidak bersifat mengikat dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mampu memaksa negara-negara penanda tangan untuk memenuhi isi DUHAM.

Selanjutnya pada tahun 1966, Komite Majelis Umum tentang HAM PBB mengesahkan dua kovenan, yaitu: International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) atau Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik dan International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (ICESCR) atau Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Kedua kovenan tersebut bersama-sama dengan DUHAM disebut sebagai International Bill of Rights atau Undang-Undang Internasional tentang HAM.

Adanya kedua kovenan tersebut dirasa tidak cukup mengakomodir kepentingan perempuan, selain itu juga belum adanya pengakuan tentang perbedaan perempuan dan laki-laki. Secara fisik, perempuan berbeda dengan laki-laki yang menyebabkan perempuan membutuhkan perlakuan khusus. UDHR juga tidak mengatur tentang affirmative action kepada kelompok rentan, yang salah satunya adalah perempuan.

Untuk menjawab kebutuhan-kebutuhan tersebut, PBB membuat Declaration on the Elimination of Discrimination Against Women atau Deklarasi Mengenai Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan, memuat hak dan kewajiban perempuan berdasarkan persamaan hak dengan laki-laki dan menyatakan agar diambil langkah-langklah seperlunya untuk menjamin pelaksanaan deklarasi tersebut. (halaman 11).
Tahun 1979, PBB mengadopsi Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW), yang kemudian diratifikasi Indonesia dan diundangkan menjadi UU RI No. 7 Tahun 1984 pada tanggal 24 Juli 1984.

Lalu apa kaitannya antara HAM dengan feminisme? Pertanyaan tersebut coba dikupas dalam buku ini. Dinamika HAM telah mengantarkan kesadaran bahwa kelompok-kelompok tertentu yang didiskriminasi dan ditindas (the voiceless) rentan diabaikan dalam proses pembuatan sebuah kebijakan.
Mereka terutama adalah perempuan. gerakan perempuan (feminis) telah menyadari hal ini dan menempatkan gerakan HAM sebagai salah satu ranah perjuangannya.

Untuk itulah, para feminis terlibat dalam berbagai gerakan HAM untuk memastikan bahwa manusia tidak homogen, tidak laki-laki, tidak dewasa; melainkan ada yang bertubuh perempuan, anak, remaja, penyandang cacat, berbeda warna kulit, berbeda ras, dan lain sebagainya.
Dari semua itu, para feminis bertanya, mengapa perempuan hilang dari HAM? Are women missing in human rights’ face? Where are the women’s voices, bodies, thought? (halaman 3).
Pertanyaan-pertanyaan tersebut rupanya cukup menggugah kedua orang penulis, R Valentina Sagala dan Ellin Rozana, yang mengupas persoalan-persoalan yang selama ini banyak dipertanyakan tentang feminisme dan HAM, serta menuliskannya dalam buku setebal 175 halaman ini.

Penulis memaparkan dengan baik kaitan antara feminisme dan HAM. Di dalamnya juga dibahas tentang prinsip, nilai, dan perspektif feminisme. Penguasaan kedua penulis tentang feminisme dan HAM tentu tidak mengherankan mengingat penulis adalah aktivis feminis yang telah sekian lama menggeluti persoalan feminisme dan HAM. Simak saja halaman 43-50 buku ini yang menjelaskan tentang prinsip, nilai, dan perspektif feminisme.

Jika para feminis beranggapan bahwa tidak ada HAM tanpa hak asasi perempuan (HAP), hal ini juga dikukuhkan oleh penulis buku ini, yang mengatakan bahwa keberadaan instrumen hukum yang mengakomodasi HAP dalam kerangka HAM sangat penting, namun penegakan HAP tidaklah dapat disimplistikkan sebatas instrumen hukum semata.
Buku ini juga secara jeli melihat keterkaitan antara menguatnya neoliberalisme dan fundamentalisme sebagai ancaman untuk penegakan HAP. Neoliberalisme dan globalisasi yang berusaha untuk menghilangkan peran negara di sektor-sektor publik, sangat merugikan perempuan.

Seperti halnya revolusi hijau yang menghilangkan peran perempuan di dunia pertanian. Selain itu, feminisasi migrasi dan trafiking juga merupakan salah satu dampak dari neoliberalisme.
Membaca buku ini seakan membuka rumah yang selama ini terkunci. Dan ketika kita masuk ke dalamnya kita akan menemui banyak kejutan yang selama ini tersembunyi bahkan mungkin tidak terpikirkan oleh kita.
Dan seperti kata penulis: ”Lalu apakah tujuan akhir feminisme? Feminisme tidak mengejar kemenangan satu kelompok atas kelompok lainnya atau pemusatan kekuasaan di satu pihak, misalnya kemenagan perempuan terhadap laki-laki. Sebaliknya, feminisme menuju titik akhir perjuangan yaitu sebuah masyarakat yang berkeadilan, berkesetaraan, dan berkemanusiaan”. (halaman 51).
Semoga HAM untuk perempuan dan HAM untuk keadilan sosial bukan lagi impian semata. Semoga….n

Penulis adalah aktivis perempuan,
tinggal di Bandung

0 komentar: