KATAKAN TIDAK PADA KDP

Dimuat di HU Pikiran Rakyat, 6 Desember 2007

KEKERASAN dalam pacaran (KDP), betulkah itu ada? Jangan salah, pacaran sebagai relasi yang (seharusnya) indah dan dipenuhi kasih sayang, disadari atau tidak, ternyata bisa berubah muram sebab diwarnai oleh kekerasan seperti fisik, emosional, ekonomi, dan seksual.

Sebut saja Nina, mahasiswa berusia 23 tahun, punya pengalaman miris dalam berpacaran. Bulan-bulan pertama saja masa pacaran terasa indah. Sisanya, ia merasakan watak asli pacarnya mulai keluar, yaitu temperamental dan amat posesif. Pacarnya akan marah besar dengan cara membanting barang-barang di kamar kos Nina jika ada secuil hal-hal yang tidak sesuai kehendak sang pacar. Lebih konyol lagi, pacarnya terlalu cemburuan sehingga membatasi Nina untuk main bersama teman-teman perempuannya dan melarangnya bekerja.
Suatu malam di sebuah acara musik, Nina tertunduk sambil menangis terisak-isak sebab dua tamparan mendarat di pipinya di depan banyak orang, hanya karena Nina menyapa teman lelakinya. Butuh satu tahun setelah pemukulan terjadi berulang-ulang, sampai akhirnya Nina berani memutuskan hubungan dengan sang pacar.

Sementara Asih –bukan nama sebenarnya– memiliki pacar yang suka mengaturnya dalam gaya berpakaian, riasan wajah, sampai musik yang didengarkan. Sang pacar juga gemar memonitor Asih, sampai berada di tahap “mengontrol” daripada “perhatian”. Kepercayaan diri Asih juga turun, lalu memutuskan diet ketat sampai ia jatuh sakit, sebab sang pacar kerap menyebut tubuh montoknya sebagai tubuh tidak ideal. Meski tidak nyaman dengan segala kontrol itu, Asih tetap jadi perempuan penurut sebab takut ancaman putus dari sang pacar.

Walaupun ada yang menyebut konsep pacaran tidak ada (ta’aruf), namun tidak dimungkiri, pacaran telah menjadi kultur mapan dalam masyarakat. Nah, di balik pacaran yang katanya indah, ternyata bisa juga terselip kasus-kasus tidak menyenangkan namun nyata seperti Nina dan Asih. Kekerasan dalam relasi atas kesepakatan, mungkin sulit dipercaya. Akan tetapi, jika mau ditelaah lebih jauh, lahirnya kekerasan sering bukan dari tempat yang jauh. Kekerasan justru bisa muncul dari orang-orang tedekat, seperti pacar. Ironisnya, masih banyak kaum muda yang menganggap kekerasan dalam berbagai bentuknya sebagai kewajaran atau dinamika berpacaran. Padahal, kekerasan adalah kekerasan, dan pelakunya bisa saja dilaporkan pada pihak yang berwajib.

Isu kekerasan dalam pacaran (KDP) ini turut digaungkan oleh Jaringan Mitra Perempuan (JMP) Bandung, dalam “16 Days Campaign Against Violence Against Women”, memperingati Hari Antikekerasan terhadap Perempuan Internasional yang jatuh setiap 25 November. JMP menggelar pameran, pemutaran film, sampai diskusi publik di beberapa tempat, salah satunya diskusi tentang KDP yang digelar di Kampus Universitas Parahyangan, Bandung, Kamis (29/11) lalu.

Rantai kekerasan

Omong-omong, mengapa KDP dikaitkan dengan hari antikekerasan pada perempuan? Sebenarnya, dalam relasi pacaran atau hubungan yang lebih luas lagi, laki-laki dan perempuan memiliki potensi yang sama baik sebagai pelaku ataupun korban kekerasan. “Tapi hingga saat ini, posisi korban masih didominasi oleh kaum perempuan,” kata Aty Suandy dari JMP Bandung, di depan peserta diskusi.

Hal itu mungkin bisa dilihat dari paparan berikut. Data kasus kekerasan yang ditangani oleh Jaringan Relawan Independen (JaRI) periode April 2002-Juni 2007, yakni, dari 263 kasus kekerasan yang masuk, ada 92% korban perempuan (sekitar 242 orang). Rincian kasusnya, terdapat 173 kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan 34 kasus kekerasan terhadap peremuan (KTP), termasuk di dalamnya KDP. Sementara itu, kasus KDP dan perkosaan pun menjadi kasus dominan yang ditangani Rifka Annisa Women`s Crisis Center asal Yogyakarta, setelah kekerasan terhadap istri. Selama 14 tahun terakhir, dari 3.627 kasus kekerasan terhadap perempuan yang terungkap, sekitar 26 % di antaranya adalah KDP dan perkosaan.

Fenomena kekerasan terhadap perempuan sebenarnya seperti gunung es. Sebab, angka-angka tersebut hanya berdasar pada jumlah kasus yang dilaporkan, padahal dalam kenyataannya, tidaklah mudah bagi perempuan korban kekerasan melaporkan kasus yang dialaminya.

Mengapa pacaran yang diharapkan sebagai proses saling mengenal, tidak selalu berjalan mulus, dan perempuan khususnya rentan menjadi korban kekerasan? Sebelum lebih jauh, ada baiknya kawan-kawan Kampus mengetahui jenis-jenis kekerasan. Deklarasi PBB tentang penghapusan kekerasan pada perempuan 1994 menyebutkan, kekerasan terhadap perempuan bisa berupa kekerasan fisik, psikologis, dan seksual.

Kekerasan fisik, yaitu kekerasan yang meninggalkan bekas nyata di tubuh korban, seperti pukulan, tendangan, tamparan, sundutan rokok, dsb.. Sementara, kekerasan psikologis atau emosional, misalnya caci maki, bentakan, kata-kata kasar, ancaman meninggalkan, cemburu berlebihan, dsb. Kalau kekerasan seksual, bisa berupa ucapan tidak senonoh yang berkaitan dengan seks, menyentuh bagian-bagian tubuh secara seksual di luar keinginan korban, hingga memaksa melakukan hubungan seksual disertai janji-janji atau paksaan. Ada juga yang disebut kekerasan ekonomi, contohnya, mengharuskan salah satu pihak selalu mengeluarkan uang atau melarang bekerja.

Dituturkan Aty, bentuk kekerasan yang paling banyak terjadi, namun jarang disadari termasuk oleh korbannya sendiri, adalah kekerasan emosional. Akan tetapi, yang paling menyedihkan adalah ketika perempuan dipaksa melakukan hubungan seksual, namun setelah hamil, kekasihnya tidak mau bertangung jawab. “Banyak kasus-kasus tragis, misalnya, pernah ada kasus seorang perempuan karena bikin kopi kemanisan, ia dianggap lupa selera pacarnya, lalu didorong ke tembok sampai tulang rusuknya patah,” ucap Aty, yang juga psikolog.

Menurut Aty, kekerasan terhadap perempuan dapat dilihat sebagai produk budaya. Perempuan kerap menjadi korban kekerasan karena ada ketidakseimbangan relasi antara laki-laki dan perempuan akibat dominasi budaya patriarki. Repotnya, budaya ini sudah mengakar dalam masyarakat, sehingga menjadi nilai teramat kokoh. Laki-laki kerap dicitrakan kuat, rasional, jantan, dominan, mencari uang, dan lain-lain. Sementara perempuan, disimbolkan dengan halus, lemah lembut, emosional, dsb.. Ketika perempuan dalam posisi lebih lemah (dan laki-laki harus kuat), perempuan pun rentan menjadi korban kekerasan.

Apa laki-laki selalu menjadi pelaku kekerasan? Sekali lagi, laki-laki dan perempuan sebenarnya sama-sama bisa jadi pelaku dan korban kekerasan. Justru yang kini harus dilakukan adalah memutus rantai kekerasan (chain of violence) itu bersama-sama oleh laki-laki dan perempuan. “Perempuan kan juga bisa melakukan kekerasan, seperti misalnya kekerasan ekonomi, dengan minta dibayarin terus- menerus,” ujar Aty.

Yang jelas, kata Aty, akibat kekerasan tidak bisa dianggap enteng. Akibat jangka pendek, bisa berupa cedera fisik. Sementara akibat jangka panjang, seperti trauma berkepanjangan dan chain of violence. “Trauma itu tidak bisa mati, tapi paling-paling dikompromikan dengan di-switch off, tapi sewaktu-waktu ia bisa muncul lagi. Selain itu, korban kekerasan bisa juga jadi pelaku kekerasan di masa mendatang!” ujar Aty.

Kesadaran sejak dini

Menurut Ellin Rozana dari Institut Perempuan, payung hukum terhadap terjadinya tindak kekerasan terhadap perempuan, sudah cukup terakomodasi melalui UU No. 23 tahun 2004 tentang KDRT. Namun untuk KDP, dikatakannya belum ada payung hukum khusus, dan masih menggunakan KUHP sebab dianggap kasus kriminal biasa. Padahal menurut dia, KDP bisa masuk dalam KDRT. “Sebab kekerasan yang terjadi dalam relasi domestik,” kata Ellin.

Meski demikian, ia mengatakan bahwa yang terpenting adalah penegakan hukum dijalankan sebaik-baiknya agar perempuan benar-benar memperoleh haknya mengaktualisasikan diri tanpa bayang-bayang kekerasan. Selain itu, perlu ada tindakan khusus pada korban-korban kekerasan. Yang terjadi selama ini adalah korban enggan melapor meski dari hari ke hari ia melihat semakin banyak kesadaran muncul untuk menolak dengan tidak lagi diam dalam ketakutan. “Bukan hanya LSM, tapi masyarakat juga bisa berpartisipasi menjadi relawan atau pendamping terdekat yang bisa memulihkan kepercayaan diri dan motivasi para korban,” katanya.

Selain penyelesaian secara hukum dan pendampingan korban, kegiatan penyadaran bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah pelanggaran hak asasi manusia, mesti terus dikumandangkan. Inilah juga yang kerap disebut sebagai pemahaman berkesadaran gender.

Menurut Ellin, pemahaman berkesadaran gender demi mencegah kekerasan, bisa dimulai dari pendidikan formal sejak dini, seperti sejak sekolah dasar. Konsep-konsep yang digambarkan di buku-buku, seperti laki-laki jadi pemimpin dan bekerja di wilayah publik, sedangkan perempuan hanya boleh mengurus rumah tangga, harus dibongkar (dekonstruksi). Antara perempuan dengan laki-laki sebenarnya hanya dibedakan berdasarkan bentuk tubuh dan alat kelamin, sedangkan peran konstruksi sosial dapat saling dipertukarkan. Wacana yang mempertentangkan laki-laki dan perempuan dalam oposisi biner sebagai lebih tinggi dan lebih rendah, pencari nafkah dan pengatur rumah tangga, publik dan domestik, rasional dan emosional, dan sebagainya, sebenarnya bisa dipahami sebagai opresi yang menimpa laki-laki juga. Ini demi terciptanya masyarakat berkeadilan gender, yang menempatkan perempuan dan laki-laki hidup berdampingan dan berkerja sama dalam membangun masyarakat yang berkeadilan dan berkemanusiaan.

Kembali lagi mengenai relasi pacaran, dikatakan Aty, pacaran sebenarnya diharapkan sebagai proses saling mencintai, menghargai, menjaga, mendukung, dan memerhatian, dan bukannya tempat persemaian hal-hal negatif seperti penyepelean, penghinaan, pemukulan, pemaksaaan hubungan seksual, dsb. Dan, waspadalah terhadap mitos yang menyesatkan tentang pacaran, seperti cemburu membabi buta sampai membuat tertekan adalah bagian dari cinta, atau menelan bulat-bulat bualan bahwa kekerasan adalah bumbu kemesraan. “Kalau pacaran lebih banyak sedihnya daripada bahagianya, buat apa?” ucap Aty. ***

0 komentar: